||www.beritakapuas.com||Mengingat akhir akhir ini kondisi bangsa Indonesia rentan
terpecah ke dalam berbagai ideologi selain Pancasila, muncul salah satu wacana
yaitu agar Pendidikan Moral Pancasila ( PMP ) sebagai mata pelajaran sekolah
kembali dihidupkan, karena dianggap ampuh meskipun merupakan warisan Orde Baru.
Anggota DPRD Kabupaten Sintang, Tuah Mangasih, saat
ditanyakan hal tersebut menyambut baik jika wacana dihidupkannya kembali
pelajaran moral pancasila di sekolah dan perguruan tinggi.
" Saya sangat mendukung itu, hanya saja metodenya harus
disesuaikan dengan keadaan sekarang, dan sudah seharusnya lah ideologi
kebangsaan ini tidak diperdebatkan lagi karena para pendiri bangsa sudah
sepakat dengan hal tersebut. Jadi sudah seharusnya Pancasila sebagai ideologi
bangsa ini harus mendapat tempat , " ujar Tuah, Senin ( 03 / 06 / 2019).
Tuah Mangasih menambahkan, tidak dapat dibendung, di alam
demokrasi saat ini seluruh nilai berhak mendapat tempat. Apapun sepanjang pada
tataran pemikiran, tidak lagi dianggap sebagai ancaman. Kebebasan berpikir
dilindungi. Individualisme dihargai.
" Tapi sangat disayangkan, di situ pula, radikalisme
berhasil mendapat momentum. Di balik kebebasan individu, radikalisme mendapat
tempat bersembunyi. Di balik penjaminan hak berserikat dan berkumpul, suara
radikal bisa sedemikian nyaring. Sentimen ketidakpuasan publik
dieksploitasi, agar sekelompok masyarakat mau bertindak. Sentimen agama
dimanfaatkan, agar sekelompok masyarakat mau bergerak. Tindakannya menolak
sistem yang berlaku. Gerakannya menghendaki perubahan bentuk negara. Caranya,
segala cara jadi boleh. Ciri khasnya, menolak toleransi. Menolak kerja sama
dengan penganut agama lain, bahkan dengan saudara seagama yang berbeda pandangan
, " ungkap Tuah, politisi PDI Perjuangan ini.
Ditegaskan Tuah, tidak dapat dipungkiri, 74 tahun Pancasila
hadir menjaga keutuhan negeri, meski digempur tantangan berbeda dari zaman ke
zaman, namun hingga saat ini bangsa Indonesia masih berdiri tegak dan
berdaulat.
Pada 1 Juni 1945, kata Pancasila pertama kali diperkenalkan
Bung Karno saat sidang BPUPKI di Gedung Chuo Sangi In, Jakarta. Fondasi
berdirinya rumah besar bernama Republik Indonesia digagas, para founding
fathers berpikir keras. Bagaimana caranya, agar negeri ini sanggup
menaungi kodrat pluralistiknya.
Kini, 1 Juni 2019, yang tersisa tampaknya sebatas kewajiban
upacara. Seremonial hormat bendera yang miskin makna. Inilah
gambaran yang terjadi saat ini ketika membicarakan peringatan hari lahirnya
Pancasila, yang baru pada era reformasi ini dijadikan sebagai hari libur nasional
dan wajib untuk diperingati dengan melaksanakan upacara bendera.
Lalu, bagaimanakah menumbuhkan semangat ideologi Pancasila
sebagai ideologi kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik ini, di tengah
derasnya arus sejumlah kelompok yang ingin merubah ideologi keramat bangsa
Indonesia ini?
Waktu akan menjawab.
( Rz )